Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan karena didalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan seorang muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya dituntut untuk menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat.
Kalua
melihat masuknya islam ke Makassar terutama terbentuknya Kerajaan
Gowa-Tallo memang bisa dilihat sedikit terlambat dari wilayah lain
seperti Jawa dan Sumatra dll, sebab Kerajaan Gowa baru dikenal sebagai
kerajaan yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang pada akhir abad
XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim
dari berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai
ramai mendatangi daerah ini.
Prof.
DR. Ahmad M. Swang, M.A ( 2005; 80) menyebutkan bahwa menurut teori
yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan
tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu
melalui tiga tahap: pertamakedatangan Islam, kedua penerimaan Islam dan ketiga penyebarannya lebih lanjut.
Pendapat
yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan
pada pelaku islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada
literatur Melayu. Graaf berpendapat:
bahwa
Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode yaitu: oleh para
pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan
orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja
bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan
mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan
perang terhadap negara-negara penyembah berhala.
Kedatangan
Islam di Makassar yang dimaksudkan oleh Noorduyn dalam teorinya di atas
adalah ketika pertama kali para pedagang Melayu muslim mendatangi
daerah ini. Kata Melayu yang dimaksud dalam pengertian orang Makassar
masa itu, tidak hanya terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung
Malaka, seperti yang diartikan sekarang, tetapi juga meliputi seluruh
Pulau Sumatra,” sehingga ketika Datuk ri Bandang yang datang dari Koto
Tangah Minangkabau di Makassar sebagai mubalig Islam, dia disebut
sebagai orang Melayu.
Sekalipun
para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir abad
XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal
maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh
salah seorang raja setempat pada masa itu sebagaimana yang terjadi pada
agama Katolik. Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para
pedagang Melayu mengundang tiga orang Muballigh dari Koto Tangah (Kota
Tengah 2) Minangkabau agar datang di Makassar mengislamkan elit Kerajaan
Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan Muballigh khusus ke Makassar,
sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3) seorang ulama dari
Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada pertengahan abad XVI
(1525), tetapi nanti berhasil setelah memasuki awal abad XVII dengan
kehadiran tiga orang Muballigh yang bergelar datuk dari Minangkabau
(Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah)
Lontara
Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan abad XVII
dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue
(Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu:
- Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang.
- Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang.
- Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.
Ketiga
ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, menurut
sumber yang ditulis oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk
mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi selatan. Mereka
terlebih dahulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan
Johor, dimana banyak orang-orang Bugis-Makassar berdiam, sesampainya di
Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak
tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah
Datuk Luwu’ sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo
dan Raja Gowa (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Graaf
dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke Makassar
lebih dahulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang lain
ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi
lebih dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada
orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang Raja
yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke
Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu
adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan
tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.
Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La
Patiware Daeng Parabu (Prof. DR. H. Ahmad Sewang. M.A., Makalah).
Menurut
sumber Portugis Antonio de Payva yang datang ke Sulawesi Selatan tahun
1542 M, ia menyebutkan bahwa ketika mengadakan aktivitas misi Katolik di
Siang, ia mendapat rintangan dari para pedagang Melayu muslim yang
diperkirakan sudah menetap di sana sekitar 50 tahun sebelumnya. Laporan
Payva dapat dianggap sebagai informasi Eropa yang tertua tentang
kegiatan orang-orang Melayu di Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan ini
dapat diperkirakan, pada akhir abad XV orang-orang Melayu sudah
melakukan aktivitas perdagangan di daerah ini. Namun, tidak dapat
diketahui secara pasti, berapa jumlah orang-orang Melayu yang melakukan
kontak pertama dengan daerah ini. Kemungkinan mereka semakin banyak yang
berimigrasi dan menetap di Makassar setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis 1511. Dalam hubungan ini Noorduyn menulis:
“Zowel
uit Portugese als uit Makasaarse bronnen is bekend, dat reeds vrij vmeg
in de 16de eeuw Maleise, dus Muslimse, handelaars zich in Makasar en
elders op de kust van Z. Celebes gevestigd hadden.”
“Baik
sumber-sumber Portugis ataupun sumber-sumber Makassar telah dikenal,
sudah sejak awal abad XVI para pedagang Melayu, jadi orangorang muslim,
sudah menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di pesisir barat
daya Sulawesi”.
Tampaknya,
sumber Makassar yang dimaksud Noorduyn di atas berasal dari Lontara
Makassar, yaitu Pattorioloanga ri Togowaya (Sejarah Gowa). Dalam lontara
tersebut terdapat keterangan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa X
(1546-1565), bernama Tonipalangga I Manriogau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung, telah datang seorang utusan orang-orang Melayu, Datuk Anakkoda
Bonang, menghadap kepadanya agar diberi hak atas sebuah kawasan
perkampungan di Makassar, seperti dikisahkan dalam lontara:
latommi
napappalakki empoang Jawa nikanaya Anakoda Bonang. Naia erang-eranna ri
Karaenga, nappala ‘na empoang, kontua anne: kamaleti sibatu, belo
sagantuju pulona sowonganna, sakalla ‘ sikayu, sikayu, cinde ilau
sitangga kodi. Nakana Anakoda Bonang ri Karaenga Tonipalannga; “appaki
rupana kupala ‘-palaka rikatte karaeng; ” nakanamo karaenga: “apa? ”
Nakanamo: “kipalaki, tanipantamaia embammang, tanigayanga punna
nia’anammang, tani rappung punna nia’ salammang.” Naniioi ri Karaenga;
nakanan karaenga: tedongkujanjo maposo nakuparamme, mabattala
‘nakutaroi, alaikaupaseng parangku tau, naiajia tamammunoako ributtaku
punna kuasenga.
“Dialah
yang meminta (memberi) tempat kediaman pada orang Jawa yang disebut
Anakkoda Bonang. Adapun persembahannya kepada raja ketika is meminta
tempat kediaman, ialah: sepucuk kamelati, delapan puluh junjungan
“belo”, sekayu sekelat, sekayu beludu dan setengah kodi “cinde ialu. ”
Kata Anakoda Bonang kepada Raja Tonipalangga: “empat macam kami
harap-harapkan dari Tuanku;” maka menyahutlah Raja itu “apa itu?” Ia
menjawab; “kami minta supaya jangan dimasuki pekarangan kami (dengan
begitu saja), jangan dimasuki rumah kami (dengan begitu raja), janganlah
kami dikenakan peraturan “nigayang” bila ada anak kami, dan janganlah
kami dikenakan peraturan “nirappung” bila ada kesalahan kami Maka
diperkenankanlah (permintaan itu) oleh Raja, dan berkatalah Raja,
“Sedangkan kerbauku bila lelah kuturunkan ke dalam air, bila bebannya
berat saya turunkan sebagian, apalagi engkau sesamaku manusia, akan
tetapi janganlah engkau melakukan pembunuhan dalam kerajaanku di luar
pengetahuanku.”
Demikianlah
keterangan tertulis dalam kepustakaan Lontara Gowa, mengenai kedatangan
orang Melayu. Mereka mendapat perlindungan istimewa dari kerajaan untuk
menempati daerah sekitar pelabuhan Somba Opu di Kampung Mangallekana.
Yang dimaksud dengan “orang Jawa” dalam lontara tersebut adalah
orang-orang Melayu dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor.
Hal ini bisa diketahui pada dialog selanjutnya antara Anakkoda Bonang
dengan raja:
Nanakanatodong,
“Siapai rupanna nupailalang kana-kana? ” Nakanamo Anakkoda Bonang,
“Sikontukang Ikambe ma’lipa’ baraya kontui Pahangan, Patania, Campaya,
Marangkaboa, Johoroka.”
“Berkatalah
pula Raja, “Berapa macam (orang) yang kau masukkan ke dalam permintaan
itu?” Berkatalah Anakkoda Bonang, “Semua kami yang bersarung ikat ialah
(orang) Pahang, Patani, Campa, Menangkabau, dan Johor.”
Hubungan
baik antara pendatang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan
mereka mendapatkan tempat istimewa di hati raja. Tidak mengherankan,
jika Raja Gowa berikutnya, yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan
fasilitas tempat ibadah, sebuah masjid, di tempat pemukiman mereka, di
Mangallekana. Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa raja
memberikan perhatian kepada para pedagang muslim. Di pihak lain, para
pedagang muslim berusaha memelihara hubungan baik itu dengan kerajaan
yang dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan oleh para pedagang
Melayu terhadap pembinaan kerajaan. Sejak awal kedatangan mereka, yaitu
di masa pemerintahan Raja Gowa X, Tonipalangga, seorang keturunan Melayu
bernama I Daeng ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar yang kedua
pada Kerajaan Gowa. Sejak saat itu secara turun-temurun jabatan
syahbandar dipegang oleh orang Melayu sampai pada masa Ince Husein
sebagai syahbandar terakhir. Dia mengakhiri jabatannya pada tahun 1669,
ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan melawan VOC. Jabatan penting
lainnya yang dipegang oleh orangorang Melayu adalah juru tulis istana.
Salah seorang yang paling menonjol di antara orang-orang Melayu itu
adalah Ince Amin. Dia adalah juru tulis terakhir yang amat terkenal pada
masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sebuah karya tulisnya yang masih
bisa ditemukan sekarang adalah “Sja’ ir Perang Makassar”. Karya ini
mengisahkan saat-saat terakhir masa kekuasaan Kerajaan Gowa tahun 1669.
Beberapa
sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu dalam bidang
perdagangan dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk
membendung pengaruh Katolik. Sampai tahun 1615 roda perekonomian,
khususnya perdagangan antar pulau yang melalui pelabuhan Makassar,
dikuasai oleh orang-orang Melayu. Komoditas beras sebagai hasil utama
Makassar diekspor ke Malaka dengan kapal orang-orang Melayu.
Sumbangan
utama orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam adalah upayanya
untuk mendatangkan mubaligmubalig Islam. Upaya itu dilakukan untuk
membendung pengaruh agama Katolik menyusul kedatangan Portugis di daerah
ini.
C. Raja Gowa-Tallo Masuk Islam dan menjadi Kerajaan Islam
Setelah
Datuk Tellue (Datuk yang tiga) berhasil mengislamkan Datuk Luwu’ dan
keluarganya pada 15 Ramadhan 1013 H atau 1603 M (Lontarak Sukkukna
Wajo’) dan raja Luwu’ La Patiwarek Daeng Parabbung diberikan gelar
Sultan Muhammad Waliul Mudharuddin (Andaya, 1981: 304, Andi Rasydiana,
1995: 60). Oleh karena La Patiwarek Daeng Parabbung adalah ipar raja
Gowa I Mangarangi Daeng Manrabia, yaitu permaisurinya Karaengta ri
Ballakbugisik adalah saudara raja Gowa, maka orang-orang Minang itu
memohon supaya raja Luwu’ meminpin pengislaman orang-orang Sulawesi
Selatan (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1990: 228-231). Mereka lalu
menyusun strategi baru dengan memprioritaskan daerah-daerah tertentu
untuk menyebarkan Islam selanjutnya, yaitu dengan membagi tenaga dan
daerah sasaran dakwah disesuaikan dengan keahlian mereka dan kondisi
kultur daerah masing-masing.
Cerita
rakyat di atas sekalipun bercampur mitos, tetapi dapat diartikan bahwa
Datuk ri Bandang dan Raja Tallo memegang peranan penting pada periode
awal islamisasi di daerah ini. Peranan kedua tokoh itu diperkuat oleh
beberapa sumber lokal. Dalam kronik Tallo menyebutkan, Raja Tallo
menerima Islam pada tahun 1605, sedang dalam Lontara’ Pattorioloanga ri
Togowaya (Sejarah Kerajaan Gowa) menceritakan tentang penerimaan Islam
Raja Gowa, Sultan Alauddin. Dalam lontara disebutkan:
Mantamai
ritaung tudju nama’gau’ areng kalenna, iangku mabassung nikana I
Mangngarangi areng paman’na I Daeng Manra ‘bia areng Ara ‘na nikana
sulthan Alau ‘ddin, nasampulo taung anrua ma ‘gau ‘ namantama Isilang,
Marangkabo ampasahadaki, kota Wanga arenna para’sanganna, Katte Tonggala
‘areng kalenna, ammempopi riappa ‘na Pammatoang ritanaja nanikanamo I
Dato ‘ri Bandang; napantamanga Isilang Karaenga salapang bangnginna
bulan Djumadele ‘ awwala’, riallona Djumaka, mese’-na Septembere ‘
ruampulo anrua, hejera’na Na ‘bia Sallalahu alaihi wasallang.
“Ia
(Raja Gowa) mengendalikan pemerintahan semasih berumur tujuh tahun,
nama kecilnya, semoga saya tidak berdosa menyebutkannya, adalah I
Mangngarangi, nama daeng-nya adalah I Daeng Manra’bia, nama Arabnya
adalah Sultan Alauddin. Setelah ia memerintah dua belas tahun, ia masuk
Islam yang dibawa oleh orang dari Koto Tangah, Minangkabau. Orang inilah
yang mengajarkan kepadanya kalimat syahadat. Ia digelar Datuk ri
Bandang setelah ia bertempat tinggal di Kampung Pammatoang (Bandang).
Raja (Gowa) masuk Islam pada hari Jumat, 9 Jumadil Awal bertepatan
dengan 22 September.”
Menurut
keterangan Andi Kumala Idjo, SH (pewaris putra mahkota Kerajaan Gowa
sekarang ), menuturkan bahwa dalam hal membagi tenaga dan daerah sasaran
dakwah dari tiga Muballigh ini (Datuk Tallua), maka Abdul Makmur Khatib
Tunggal, Datuk ri Bandang berdakwah di daerah Gowa yang kemudian
mengislamkan raja Gowa-Tallo, lalu Sulaiman, Khatib Sulung, Datuk
Patimang berdakwah di Luwu, sedangkan Abdul jawad, Khatib Bungsu, Datuk
ri Tiro berdakwah di daerah Bulukumba. I Mangngerangi Daeng Manrabia
dinobatkan menjadi raja sejak umur 7 tahun dan pada waktu masuk Islam
usianya baru 17 tahun.
Menurut
Lontarak Sukku’na Wajo’ dan Lontarak Patturiolong Tallo’ bahwa raja
Gowa I Mangakrangi Daeng Manrabia memeluk agama Islam pada hari Kamis
malam atau malam Jumat 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605 M).
Setelah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ memeluk agama Islam (Abd. Razak
Daeng Patunru, 1967: 19) maka menyusullah raja Gowa. Raja Gowa-Tallo ini
memeluk Islam pada hari yang sama yaitu pada hari Kamis malam atau
malam Jumat, dan mungkin sekali yang mengucapkan Syahadat pertama kali
adalah I Mallingkaan Daeng Manyonri’ (Noorduyn, 1953: 93).
Setelah
Raja Gowa-Tallo masuk Islam pada tahun 1605 M yaitu I Managarangi Daeng
Manrabia, Sultan alauddin (raja Gowa XIV) dan I Mallingkaan Daeng
Manyonri, Sultan Abdullah Awwalul Islam. Maka hanya dalam waktu dua
tahun yaitu ditahun 1607, rakyat Gowa dan Tallo pada umumnya sudah
memeluk agama Islam dan raja Gowa memaklumkam, bahwa agama Islam adalah
agama resmi kerajaan di Gowa-Tallo (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).
Perlu
dicatat bahwa rakyat yang berbondong-bondong memeluk agama Islam
mengikuti raja mereka pada waktu itu bukanlah karena dipaksa atau
diancam akan tetapi mereka setelah menyadari kebenaran agama Islam
berkat penerangan agama (dakwah) yang dberikan secara intensif oleh
ulama Abdul Khatib Makmur dan kawan-kawan yang bermukim dikampung
Kalukubodoa (Lontarak Sukkukna Wajo). Menurut Lontarak Bilang Gowa bahwa
pada tanggal 9 Nopember 1607, 18 Raja Hijara Sanna 1017 allo Juma’nauru
mammenteng Jumaka ri Tallo’, uru sallanta. Ia anne bedeng bunduka ri
Tamapalo (artinya: Mula (Pertama kali) diadakan shalat Jumat di Tallo,
ketika mula (sejak) masuk Islam, Dalam tahun ini konon terjadinya perang
Tamapalo) (Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin, 1999: 228-231).
Penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo
Masuknya Agama Islam di Sulawesi Selatan (Abad XVI-XVII)
Sejak
resminya agama Islam di gowa-Tallo, maka raja Gowa Sultan Alauddin
makin kuat kedudukannya sebab beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin
(kepala agam Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Qadhi,
yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang
Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dahulu memeluk agama Islam
pada abad XVI. Sultan alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di
Sulawesi selatan.
Cara
pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan
Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dengan
negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara
lain, bahwa barangsiapa diantara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah
taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka
yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya (H.A. Massiara
Dg, 1988: 55-62).
Maka
dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajika yaitu
agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya
agar turut memeluk agama Islam. Maka pendekatan serupa ini banyak
hasilnya. Namun kerajaan-kerajaan yang merasa dirinya sudah mampu dan
dewasa dibidang pemerintahan, menolak ajakan itu. Beberapa kerajaan
kecil sekitar Gowa memenuhi seruan memeluk Islam, akan tetapi kerajaan
Bugis dan Mandar yang kuat seperti Bone, Soppeng, Wajo’, Sidenreng,
Sawitto, Suppak, Balannipa dan kerajaan Mandar lain menolak keras ajakan
itu, karena disebabkan faktor-fakator sebagai berikut:
- mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, beristri banyak dan lain-lain.
- mereka khawatir bahwa mereka akan dijajah oleh Gowa
Kepada
yang menolak itu dikirimkan peringatan, namun setiap kali ada pesan,
setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkan dan
melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka. Empat
kali dikirim balatentara untuk memerangi raja-raja Bugis, akan tetapi
selalu dikalahkan oleh persekutuan raja-raja Bugis, terutama Kerajaan
Tellumpoccoe: Bone, Soppeng dan Wajo yang menutup aliansi pada tahun
1582 (Noorduyn, 1955: 84) berdasarkan Boeg. Chr.I, h. 484).
Menurut
H.A. Massiara Dg (1988: 55-62) mengatakan bahwa pada tahun 1609
angkatan perang Gowa yang tangguh dikirim ke pedalaman, mula-mula ke
Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang, Sidenreng) lalu tunduk dan
menerima Islam sebagai agama kerajaan. Juga dalam tahun 1609 itu
Kerajaan Soppeng menerimanya, tahun 1610 Kerajaan Wajo, dan tahun 1611
Kerajaan Bone. Kerajaan Luwu’ dan Mandar tanpa ancaman perang memang
sudah mennjadikan Islam sebagai agama Kerajaan.
Begitu
juga diterima dikerajaan-kerajaan Enrekang Kerajaan tellu Lembana dan
Tellu Batu Papan menerima ajakan Kerajaan Gowa.Pengislaman seluruh
Sulawesi selatan dijalankan oleh Gowa mulai tahun 1605 M sampai tahun
1612 M (H.A. Massiara Dg, 1988: 55-62).
sumber : http://debu-trotoar.blogspot.com/2012/06/sejarah-masuknya-islam-di-kerajaan-gowa.html
No comments:
Post a Comment