Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa
dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri
dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari
semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku
menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh
anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di
Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas.
Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia
masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik,
atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku
senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering
meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku
menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku
disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku
sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan
seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya
agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku
kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah
membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk
membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia
pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan
kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku
terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku
menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki
dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda
dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap
ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa.
Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya
sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus
lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti,
ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu
telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski
Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan
dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak
akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku
menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan
langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu
menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad
nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah
aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya
ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan
rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya.
Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga
tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku
mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap
bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan
datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
referensi:http://motivationplannet.wordpress.com/2009/05/21/ibu/#more-90
No comments:
Post a Comment